Minggu, 06 November 2016

Interpretasi Citra Secara Visual Menurut Para Ahli

Interpretasi Citra Secara Visual Menurut Para Ahli 

  1. Vink
Menurut Lo (1976) interpretasi citra menurut Vink dilakukan dalam enam tahap yaitu
1. Deteksi,
2. Pengenalan dan identifikasi,
3. Analisis,
4. Deduksi,
5. Klasifikasi dan
6. Idealisasi.

Deteksi adalah penyadapan data secara selektif atas obyek (tampak langsung) dan elemen (tak tampak langsung) dari citra. Kemudian obyek tersebut dikenali, diidentifikasi dan diikuti oleh proses pemisahan dengan penarikan garis batas kelompok obyek atau elemen yang memiliki kesamaan wujud kemudian dilakukan proses deduksi yang dilakukan berdasarkan asas konvergensi bukti untuk prediksi terjadinya hubungan tertentu. Konvergensi bukti merupakan penggunaan bukti-bukti yang masing-masing saling mengarah ke satu titik simpul. Klasifikasi dilakukan untuk menyusun obyek dan elemen ke dalam sistem yang teratur. Tahap terakhir yaitu idealisasi atau penggambaran hasil dari interpretasi tersebut.
Hasil interpretasi citra sangat tergantung atas penafsir citra beserta tingkat referensinya. Tingkat referensi ialah keluasan dan kedalaman pengetahuan penafsir citra. Ada tiga tingkat referensi yaitu umum, lokal dan khusus. Tingkat referensi umum yaitu pengetahuan umum penafsir citra tentang gejala dan proses yang diinterpretasi. Tingkat referensi lokal ialah pengetahuan atau keakraban penafsir citra terhadap lingkungan setempat atau daerah yang diinterpretasi. Tingkat referensi khusus ialah pngetahuan yang mendalam tentang proses dan gejala yang diinterpretasi.

  1. Lo
Dengan mendasarkan atas pendapat Vink maka Lo mengutarakan bahwa interpretasi citra dilakukan dengan tahap-tahap seperti dibawah ini :
1.      Deteksi
2.      Merumuskan identitas obyek dan elemen berdasarkaan karakteristik foto seperti ukuran, bentuk, bayangan, rona, tekstur, pola dan situs.
3.      Mencari arti melalui proses analisis dan deduksi
4.      Klasifikasi melalui serangkian keputusan, evaluasi, dsb., berdasarkan kriteria yang ada.
5.      Teorisasi -> menyusun teori atau menggunakan teori yang ada pada disiplin yang bersangkutan

Pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua proses yaitu proses perumusan identitas obyek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses untuk menemukan artinya pentingnya obyek dan elemen tersebut. Karakteristik foto seperti ukuran, bentuk, bayangan dsb digunakan untuk identifikasi obyek, sedang proses yang lebih rumit yaitu analisis dan deduksi digunakan untuk menemukan hubungan yang berarti dalam proses yang kedua. Hasilnya berupa sebuah klasifikasi dalam upaya menyajikan sejenis keteraturan dan kaitan antara informasi kualitatif yang diperoleh. Klasifikasi ini menuju kearah teorisasi. Teorisasi ialah penyususnan teori berdasarkan penelitian yang bersangkutan atau penggunaan teori yang ada sebagai dasar analisis dan penarikan kesimpulan didalam penelitian itu. Dengan demikian maka interpretasi citra pada dasarnya berupa proses klasifikasi yang bertujuan untuk memasukkan gambaran pada citra ke dalam kelompok yang tepat sehingga diperoleh pola kelompok dan hubungan imbaldayanya.

  1. Roscoe
Roscoe (1960) menyatakan bahwa interpretasi citra meliputi serangkaian pekerjaan yang berupa:
1.      interpretasi awal,
2.      pembuatan peta kerja,
3.      pekerjaan medan,
4.      tinjauan kembali atas masalah dan metode,
5.      interpretasi akhir
6.      kesimpulan dan uji medan dan
7.      penyajian akhir.

Pada interpretasi awal dilakukan interpretasi dari citra berskala kecil ke arah yang skalanya lebih besar, dari pola umum ke wujud individual, dari obyek yang mudah dikenal ke arah yang lebih sukar dikenal. Setelah diamati pola umumnya, kemudian dikaji secara rinci unsur-unsur yang membentuk pola tersebut. Hasil interpretasi awal ini diwujudkan dalam peta kerja atau peta sementara.
Dengan menggunakan peta kerja dan citra yang lebih diinterpretasi, pekerjaan medan dapat dilakukan lebih efisien. Pekerjaan medan terarah lebih baik dan pelaksanaanya lebih singkat. Kadang – kadang di medan juga dilakukan interpretasi citra untuk mengembangkan informasi baru yang diperoleh dengan pengamatan langsung.
Tinjauan atas masalah dan metode yang dipilih untuk pemecahan masalah perlu dilaksanakan untuk menyimpulkan apakah ia akan tetap pada masalah yang telah dirumuskan dan metode yang dipilih. Bukan tidak mungkin akan timbul masalah baru yang memerlukan pengubahan metode yang digunakan.
Kemudian dilakukan interpretasi akhir, penarikan kesimpulan, dan kerangka laporannya disusun. Sebelum menulis laporan, bila kemungkinan lebih baik dating sekali lagi ke daerah penelitian untuk meyakinakan hal yang perlu diyakinkan atau untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang timbul pada interpretasi akhir.
Penyajian hasil interpretasi dapat dilakukan antara lain dengan menyajikan gambaran dalam kaitan spasial yang jelas. Untuk maksud ini dapat digunakan  foto udara dan citra lainnya yang diberi notasi, mosaik foto, dan peta. Disamping itu, informasi yang terkumpul juga dapat menjadi kunci interpretasi citra.

  1. Umali
Menurut Umali (1983) interpretasi citra Landsat dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu :
1.      Tahap analisis citra
2.      Tahap interpretasi citra
3.      Tahap interpretasi disipliner terinci

Tiap wujud pada citra mula-mula tampak melalui rona dan atau warnanya. Penafsiran citra mulai dengan mendeteksi rona atau warna pada citra. Ia menarik garis batas bagi kelompok wujud yang rona atau warnanya sama dan memisahkannya dari yang lain. Pekerjaan ini oleh umali disebut analisis citra.
Pekerjaan selanjutnya disebut interpretasi citra. Pekerjaan ini terdiri dari pengenalan jenis obyek dan polanya. Pengenalan jenis obyek dilakukan dengan menggunakan unsur spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, bayangan, dan situsnya. Obyek yang tergambar pada citra tidak hanya dikenali jenisnya, melainkan juga dikaji polanya atau susunan keruangannya. Pola tersebut antara lain berupa pola bentuk lahan, pola bentang budaya, pola aliran, dan pola penggunaan lahan.
Pekerjaan pada tahap terakhir berupa pekerjaan intepretasi disipliner terinci. Jenis dan pola obyek yang tergambar paada citra diinterpretasi arti pentingnya sesuai dengan tujuan interpretasinya seperti misalnya untuk geologi, geomorfologi, penggunaan lahan, kehutanan, sumberdaya akuatik, lingkungan, pertanian, dan hidrologi.

5. Estes et al
Estes et al (1983) mengartikan analisis citra sebagai keseluruhan pekerjaan interpretasi citra. Pengertian ini juga digunakan oleh Lillesand dan Kiefer (1979) oleh karena itu istilah di dalam penginderaan jauh dipelajari oleh para ilmuan dengan dpandang atau diartikan dengan lebih dari satu makna.
Lebih dari sekedar istilah, bidang keahlian yang beraneka sering terbawa ke dalam pemagaman penginderaan jauh. Oleh karena itu Estes et al berpendapat bahwa perlu ada kerangka kerja konsepsual atau pardigma bagi hal yang mendasar di dalam penginderaan jauh antara lain bagi asas interpretasi citra. Urgensi paradigma ini lebih terasa lagi setelah berkembangnya analisis digital data penginderaan jauh pada dua dasawarsa terakhir ini. Analisis digital seolah-olah terpisah sama sekali dari analisis manual. Tanpa ada hubungan sedikitpun. Sehubungan dengan ini maka Estes et al mengemukakan suatu paradigma analisis citra secara manual dan visual dan digital.
Pekerjaan analisis citra meliputi tiga :
1. deteksi dan identifikasi,
2. pengukuran,
3. pemecahan masalah.

Mula-mula dilakukan deteksi dan pemberian obyek penting yang tergambar pada citra. Obyek itu kemudian diukur dengan cara manual atau menggunakan instrumen. Pengukuran ini dilakukan atas rona atau warna, bentuk, luas, lereng, bayangan, terkstur, atau aspek lainnya. Pengukuran ini penting dalam uoaya pemecahan masalah. Pemecahan masalah dapat beraneka bentuknya, antara lain berupa pengenalan obyek melalui pengamatan obyek lain atau pengenalan kompleks obyek berdasarkan obyek satu persatu, pemecahan masalah juga berarti penggunaan yang tepat data yang telah diperoleh dari citra penginderaan jauh.
Baik dengan cara maunal maupun dengan cara digital, cara analisisnya mendasarkan atas unsur-unsur yang disebut unsur interpretasi citra. Berdasarkan unsur interpretasi citra ini dilakukan analisis yang aturannya berbeda bagi cara manual dan cara yang bersifat  mempermudah dan atau mempertinggi hasil analisisnya.
Pengembangan hipotesis merupakan hal mendasar bagi ilmu pengetahuan. Hipotesis pada dasarnya berupa jawaban potensial terhadap suatu pertanyaan atau pemecahan terhadap suatu masalah. Hipotesis merupakan dugaan ilmiah. Dugaan ini dapat tepat dan dapat pula tidak tepat. Oleh karena itu hipotesis harus diuji. Didalam analisis citra, analisis menyusun hipotesis juga. Seorang analis citra menduga bahwa obyek yang tergambar pada citra dan sedang diamati misalnya berupa tanaman jagung atau daerah yang tergambar pada citra berupa daerah pertanian yang subur.
Garis penalaran ialah pengembangan penalaran yang mengarah ke suatu kesimpulan. Satu garis penalaran yang pada dasarnya terdiri dari serangkaian pernyataan yang menggunakan “jika....maka....”. dengan mendasarkan atas penalaran, kita hapus satu persatu pernyataan-pernyataan tersebut, kecuali satu pernyataan yang paling mungkin terjadi. Sebagai contoh dapat dibuat  pernyataan berdasarkan pengamatan pada citra sebagai berikut :
-         -  Jika sawah terletak di daerah miring maka petak-petaknya berukuran kecil.
-          - Jika sawah terletak di daerah padat penduduk maka petak-petaknya berukuran kecil.
Kalau sawah tersebut terletak di daerah datar dan petaknya berukuran sempit-sempit maka berarti pernyataan pertama ditolak. Kalau hanya ada dua pernyataan, berarti pernyataan kedualah yang diterima. Sawah yang terletak di daerah datar cenderung berukuran luas. Petak yang sempit-sempit mengisyaratkan pemilik yang berjumlah besar. Ini berarti daerahnya berpenduduk padat.
Analisis citra secara manual pada dasarnya merupakan proses deduktif. Penarikan kesimpulan didasarkan atas apa yang telah diketahui atau didasarkan atas sesuatu yang kebenarannya telah diterima secara umum. Sebagai contoh, bila suatu daerah banyak ditanami singkong maka kita dapat menyimpulkan  bahwa daerah  itu merupakan daerah tandus. Foto yang menyajikan gambaran sungai dengan bentuk meander mengisyaratkan daerah yang datar. Dua kesimpulan tersebut ditarik berdasarkan atas hal – hal yang kebenarannya telah diterima secara umum atau secara luas. Di samping itu, obyek yang mudah dikenali pada citra bersifat mengarahkan ke pengenalan obyek lainnya. Di dalam menyimpulkan jenis obyek atau kondisi suatu obyek lainnya. Di dalam menyimpulkan jenis obyek atau kondisi suatu daerah yang tergambar pada citra, digunakan lebih dari satu unsur yang masing-masing mengarah ke satu kesimpulan, tidak ada yang bertentangan. Asas inilah yang disebut konvergensi bukti (converging evidence, convergence of evidence).




Jumat, 28 Oktober 2016

SENSOR SATELIT IKONOS (PANKROMATIK)

SENSOR SATELIT IKONOS (PANKROMATIK)

Satelit Ikonos adalah satelit inderaja komersil pertama yang diluncurkan pada 24 September 1999 dari Markas Angkatan Udara Vandenburg, California USA. Ikonos dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan milik Space Imaging Agency (USA), dan berhasil memproduksi citra satelit inderaja dengan ketelitian 235 kali ketelitian citra Landsat - 7 band pankromatik (Kusumowidagdo, 2002). Ikonos memiliki resolusi spektral pada nadir yaitu 0,82 meter. Sedangkan untuk resolusi spektral pada 26° off-nadir adalah 1.0 meter. Dengan teknik “Pan Sharpening”, citra pankromatik 1 meter dapat dikombinasikan dengan citra multispektral 4 meter. Saluran pankromatik menggunakan panjang gelombang (0.45 mm - 0.90 mm ) dan multispektral dengan 3 saluran pada panjang gelombang tampak (visible) serta satu saluran inframerah dekat. Tabel berikut menunjukkan band-band spectral yang terdapat pada sensor Ikonos.
Spesifikasi Citra Ikonos :


Resolusi Radiometik

Resolusi radiometric data IKONOS dikumpulkan tiap 11 bit pixel (2048 tone abu – abu). Ini berarti bahwa masih diperlukan ahli perangkat lunak inderaja untuk memperoleh informasi gambar dengan detil. IKONOS dengan kemampuannya sebagai “high accuracy remote sensing satellite” akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan dan kearukuratan datanya. 

Produk Satelit IKONOS dapat dibedakan dalam tiga tingkatan berdasarkan tingkat akurasi posisinya, yaitu :
 1. Georectified Product (Geo) Geo merupakan produk ideal untuk pengamatan visual dan interpretasi, karena produk ini sudah direktifikasi pada datum & sistem proyeksi peta.
2. Orthorectified Product Pada produk ini telah dilakukan ortorektifikasi pada ellipsoid & proyeksi peta tertentu. Orthorektifikasi dilakukan untuk menghilangkan distorsi citra akibat kesalahan geometrik dan pergeseran relief. Jenis Precision dan Precision Plus merupakan produk yang mempunyai tingkat akurasi ketelitian yang tinggi, karena telah menggunakan titik control tanah maupun DEM (Digital Elevation Model). Jenis Presicion Plus bukan merupakan produk standar, dan hanya disediakan untuk golongan tertentu.
 3. Stereo Product Produk ini hanya dapat digunakan oleh lembaga pemerintahan saja. Stereo Product menggunakan film kamera model Rational Polynomial Coefisient (RCP), yang menyediakan model data kamera dengan paket program untuk fotogrammetri dengan koordinat 3D, DEM dan citra yang telah diorthorektifikasi.

Karakteristik Satelit Ikonos :

Tujuan pemanfaatan citra

Data Citra Satelit Ikonos dapat digunakan untuk berbagai tujuan pemanfaatan, antara lain untuk pemetaan sumber daya alam daerah pedalaman dan perkotaan, analisis bencana alam, kehutanan, pertambangan, teknik konstruksi, pemetaan perpajakan, dan deteksi perubahan. Penggunaan potensial lain ikonos adalah precision agriculture dimana hal ini digambarkan pada pengaturan band multispektra, yang mencakup band infra merah dekat (near-infrared). Pembaharuan dari situasi lapangan dapat membantu petani untuk mengoptimalkan penggunaan pupuk dan herbisida. Ikonos  juga dapat dimanfaatkan untuk pemantauan cuaca dan penataan ruang wilayah. Ikonos akan lebih bermanfaat misalnya dalam menganalisis lahan dan identifikasi obyek. Apabila kemudian data ini dipadukan dengan data sekunder akan memberikan pengetahuan tentang potensi suatu daerah dengan lebih detil dan bermanfaat khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Data dari satelit ini telah dimanfaatkan untuk identifikasi tata ruang.

Misi
Mendapatkan citra seluruh kota-kota utama Amerika Serikat. Sampai saat ini pemetaan dan monitoring perkotaan dari angkasa (tidak hanya di Amerika) hanya mungkin pada skala terbatas.

- Keterkaitan antara resolusi spasial pada citra satelit dengan skala peta yang dihasilkan.
  1. Resolusi Spasial citra satelit  15 - 30m akan menghasilkan skala peta maksimum 1 : 50.000 dan minimumnya 1 : 100.000, resolusi spasial 15 - 30m ini terdapat pada citra satelit landsat 5 (TM), landsat 7 ( ETM+) , landsat 8 OLI dan citra satelit Aster.
  2. Resolusi Spasial Citra Satelit 5 - 10 m  akan menghasilkan skala peta maksimal sampai 1 : 10.000 dengan skala peta minimum 1 : 25.000, resolusi spasial 5 - 10m ini terdapat pada citra satelit seperti SPOT 4 resolusi 10m, SPOT 5 resolusi 5 dan 10 m,  Alos AVNIR -2 dan Alos Palsar yang memiliki resolusi citra 6 m.
  3. Resolusi Spasial Citra Satelit 1,5 - 2.5m  akan menghasilkan skala peta maksimal 1 : 7.500 dan minimal skala peta 1 : 10.000 . Resolusi Citra satelit 2.5 m terdapat pada citra satelit seperti Alos 2.5m yang merupakan hasil pansharp antara citra Alos AVNIR -2 dengan Alos Pankromatik , citra SPOT 5 resolusi 2.5m dan Citra Satelit Pleidas yang memiliki resolusi spasial 1.5m
  4. Resolusi Spasial Citra Satelit 0.6 - 1m akan menghasilkan skala peta maksimal 1 : 5000, Resolusi 0,6 - 1m ini terdapat pada citra satelit QuickBird dan Ikonos.
  5. Resolusi Spasial Citra Satelit  0.5m akan menghasilkan skala peta maksimal 1 : 2000, resolusi 0,5m ini terdapat pada citra satelit Geoeye, WorldView - 1, World View - 2, dan Pleidas.


Daftar Pustaka
Indrawati, Like. 2007. Petunjuk Praktikum Sistem Penginderaan jauh Non Fotografi. Yogyakarta:  Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada
Purwanto, Hery Taufik. 2007. Petunjuk Praktikum Sistem Penginderaan Jauh Non Foto. Yogyakarta: Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada
Space Imaging, 2002. Ikonos, http:/www.damap.com/ikonos.htm


Sabtu, 22 Oktober 2016


Video Ikonos


Video diatas merupakan contoh video dari satelit ikonos.


Mencari Alamat Rumah dengan Mengunakan Google Earth.


Gambar di atas merupakan hasil penulusuran dari Aplikasi Google Earth. Gambar tersebut juga merupakan salah satu contoh dari citra. Didalam gambar adalah rumah saya, yang terletak di Jl. Jaya Laras (gkpn) no. 80A kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Jumat, 14 Oktober 2016

HAMBATAN ATMOSFER

Fungsi atmosfer adalah untuk mengatur proses penerimaan panas yang berasal dari matahari. Yaitu dengan cara menyerap sinar matahari kemudian memantulkan panas yang dipancarkan oleh matahari. Atmosfer mempunyai peranan untuk menghambat dan mengganggu tenaga atau sinar matahari yang datang (bersifat selektif terhadap panjang gelombang). Tenaga elektromagnetik dalam jendela atmosfer tidak dapat mencapai permukaan bumi secara utuh, karena sebagian dari padanya mengalami hambatan oleh atmosfer. Hambatan ini terutama disebabkan oleh butir – butir yang ada di atmosfer seperti debu, uap air dan gas.

Macam-macam hambatan:
1.        Debu
Debu adalah sejenis partikel, atau aerosol yang mengambang di atmosfer. Debu dibedakan menjadi dua yaitu debu yang dihasilkan dari kegiatan manusia seperti asap industri, pembakaran bahan bakar dan kebakaran hutan, selanjutnya adalah debu yang dihasilkan oleh alam seperti abu vulkanik dan debu gurun.
Debu yang berasal dari pembakaran umumnya berukuran submicro. Partikel halus ini mendinginkan atmosfer karena merefleksikan cahaya mahatahi kembali ke antariksa sebelum sempat memanaskan udara. Itu berati hanya sedikit energi surya yang sampai ke permukaan dan hanya memiliki sedikit effect signifikan terhadap energi panas.
Partikel debu alami berukuran di atas 10 mikron menyerap radiasi matahari, lalu mengubahnya menjadi panas dan melepaskannya ke udara. debu ini juga merefleksikan sebagian radiasi kembali ke luar angkasa sehingga debu alami ini mendinginkan bumi sekaligus menghangatkan atmosfer.

2        Aerosol
Aerosol berupa partikel cair atau padat yang tersuspensi di dalam gas. Ukuran partikel aerosol antara 0,001-100 µm. Partikel-partikel yang berdiameter kurang dari 2,5 µm pada umumnya dianggap halus dan partikel yang berdiameter lebih besar dari 2,5 µm dianggap kasar. Aerosol yang terdiri dari partikel debu, abu, garam, dan asap juga terdapat di udara.  Sumber aerosol terbagi menjadi dua yaitu aerosol primer yang biasanya dihasilkan dari debu yang terbawa oleh udara sebagai akibat adanya angin atau partikel-partikel yang dikeluarkan dari cerobong asap dan aerosol sekunder yang dihasilkan di dalam atmosfer yang mengalami reaksi-reaksi kimia dari gas. 

1.        Uap air
Uap air merupakan senyawa kimia udara dalam jumlah besar. Uap air berasal dari kandungan air pada hidrosfer yang menguap. Kadar uap air di atmosfer dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu suhu dan lokasi. Semakin tinggi suhu  udara, maka kandungan air dalam udara semakin besar.

1.        Awan 
Awan adalah sekumpulan tetesan air atau juga kristal es pada atmosfer yang terjadi disebabkan karena pengembunan atau pemadatan uap air yang terdapat didalam udara setelah melampaui keadaan yang jenuh



Komponen atmosfer berperan dalam proses atenuasi atau penurunan intensitas radiasi matahari yang mencapai permukaan tanah. Proses yang dominan dalam anetuasi gelombang elektromagentik adalah: absorbsi atau penyerapan, refleksi atau pemantulan dan refraksi atau hamburan.

Proses Hambatan:

          1.      Serapan
Penyerapan adalah proses di mana elektron dari suatu zat menyerap atau mengambil panjang gelombang peristiwa energi. Struktur atom dan molekul dari bahan mengatur tingkat penyerapan, bersama dengan jumlah radiasi elektromagnetik, suhu, struktur kristal padat, dan interaksi antarmolekul. Spektrum serapan dapat diukur dari segi frekuensi, panjang gelombang, atau bilangan gelombang mereka.
Ada dua jenis spektrum penyerapan: spektrum serapan atom dan spektrum penyerapan molekul. Spektrum absorpsi atom adalah spektrum yang diperoleh ketika atom-atom bebas (umumnya gas) menyerap panjang gelombang cahaya. Spektrum penyerapan molekul di sisi lain adalah spektrum yang terlihat ketika molekul suatu zat menyerap panjang gelombang cahaya (umumnya ultraviolet atau sinar tampak).

 2.    Pantulan


         3 .     Hamburan
     Hamburan adalah pantulan ke segala arah yang disebabkan oleh benda-benda yang permukaannya kasar dan bentukannya tidak menentu, atau oleh benda-benda kecil lainnya yang berserakan. Bagian dari spektrum elektromagnetik yang mampu menembus atmosfer dan sampai ke permukaan bumi disebut jendela atmosfer. Jendela atmosfer yang paling banyak digunakan adalah spektrum tampak yang dibatasi oleh gelombang 0,4 mikrometer hingga 0,7 mikrometer. Hamburan dapat terjadi karena partikel-partikel penghambur yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran panjang gelombang radiasi yang dihambur. Terdapat 5 jenis hamburan di atmosfer yaitu:

1. Hamburan umum adalah hamburan ke semua arah yang terjadi bila radiasi mengenai partikel-partikel yang ada dalam atmosfer.

2. Hamburan rayleigh adalah hamburan yang terjadi pada partikel-partikel kecil yang diameternya lebih kecil dari panjang gelombang radiasi datang. Hamburan yang terjadi adalah hamburan balik, jadi berlawanan dengan arah radiasi datang. Apabila cuaca cerah berarti ukuran partikel kecil sehingga panjang gelombang yang banyak dihamburkan adalah cahaya biru, selanjutnya ukuran partikel menentukan jenis cahaya yang dihamburkan dan dikenal dengan hamburan selektif. Hamburan Rayleigh adalah hamburan elastis dari cahaya atau radiasi elektromagnetik lain oleh partikel lain dengan jauh lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya, yang bisa berupa suatu atom atau molekul. Hal ini dapat terjadi ketika cahaya melawati benda padat yang transparan dan cairan, tetapi yang paling menonjol terlihat pada gas.

3. Hamburan mie adalah hamburan yang terjadi pada partikel-partikel dengan diameter hampir sama dengan panjang gelombang radiasi. Hamburan yang terjadi hampir seluruhnya searah dengan arah datangnya radiasi.

4. Hamburan non selektif adalah hamburan yang tidak tergantung pada panjang gelombang dan arah radiasi. Biasanya dihamburkan oleh partikel-partikel besar dengan diameter jauh lebih besar dari panjang gelombang radiasi.

5. Hamburan atmosfer adalah hamburan yang terjadi di atmosfer, merupakan gabungan dari berbagai hamburan sebagai fungsi dari kondisi atmosfer atau ukuran partikel yang ada di atmosfer.


Pengaruh hambatan pada penginderaan jarak jauh:
-          Terganggunya proses pengambilan data dari jarak jauh dalam bidang-bidang tertentu.
  

Sumber : 
Endarto, Danang. dkk. 2009. Geografi 3 : Untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
Hartono, 2009, Geografi 3 Jelajah Bumi dan Alam Semesta : untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas /Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 20 – 26.

Jumat, 07 Oktober 2016


Perkembangan Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh merupakan teknologi untuk mengukur atau mendapatkan informasi tentang suatu objek/fitur/benda di permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan objek ukur. Pada awal perkembangannya, penginderaan jauh hanya berfungsi sebagai teknik atau cara untuk mendapatkan data dari permukaan bumi yang dilakukan tanpa harus kontak dengan permukaan bumi. Dalam perkembangan selanjutnya, penginderaan jauh sering diposisikan sebagai suatu ilmu.Jadi, peinderaan jarak jauh merupakan ilmu dan seni untuk menindera / menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekam dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat sensor dan wahana. Kemudian alat tersebut menghasilkan data yang harus dianalisis dengan cara interpretasi untuk dijadikan suatu informasi tentang permukaan bumi yang bermanfaat bagi bidang – bidang ilmu yang berkaitan.
Teknologi PJ sangat cepat berkembang dan teruji dengan sangat baik, baik dikalangan akademik, pemerintah, swassta, maupun stakeholder pada umumnya. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk mempelajari dan menyelesaikan berbagai permasalahan keseharian kita di berbagai bidang kehidupan.

Perkembangan Sisten dan Wahana
Dimulai dari teknik interpretasi foto udara, penginderaan jarak jauh mulai berkembang. Meskipun demikian, teknik interpretasi foto udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri baru berkembang pesat setelah Perang Dunia II karena sebelumnya foto udara lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan militer. Berdasarkan ketinggian peredarannya, posisi wahana dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut :
1.      1. Pesawat terbang rendah sampai medium (low to medium altitude aircraft) ketinggian antara       1.000–9.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkannya adalah citra foto (foto             udara).
  1. Pesawat terbang tinggi (high altitude aircraft) dengan ketinggian sekitar 18.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkannya adalah citra udara dan multispectral scanner data.
  2. Satelit dengan ketinggian antara 400–900 km dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkan adalah citra satelit.
Berbagai satelit sumberdaya telah diluncurkan oleh beberapa negara yang menawarkan kemampuan yang bervariasi mulai dari:
- ± 1 meter (IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika             Serikat)
- ± 10 meter (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang)
- ± 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA,  Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003)
- ± 50 meter (MOS milik Jepang)
- ± 250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang)
- ± 1,1 km (NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat)
            Negara – negara tersebut memanfaatkan citra satelit itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi bencana alam. Sensor-sensor satelit baru tidak hanya beroperasi pada wilayah multispektral.  Saluran pankromatik dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada saluran spektral lain pada sensor yang sama juga dioperasikan oleh berbagai sistem.  Sensor aktif seperti radar juga telah dioperasikan oleh berbagai satelit seperti JERS (Jepang), ERS dan Envisat (Uni Eropa), Radarsat (Kanada); sementara sistem sensor aktif berbasis teknologi laser (Lidar) terus dikembangkan untuk memperoleh informasi ketinggian permukaan kanopi pepohonan dan ketinggian permukaan tanahnya sekaligus.  Sistem satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor hiperspektral dengan ratusan saluran spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai objek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.

           
Perkembangan Aplikasi
Penginderaan jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer, karena gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada peta.  Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi dan  pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik tertentu.  Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar inframerah dekat juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan kamuflase objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya pepohonan. 
         Penggunaan teknologi foto inframerah akhirnya juga dimanfaatkan untuk aplikasi pertanian, khususnya dalam konteks perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan aktivitas fotosintesis, karena kepekaan pantulan sinar inframerah dekat ternyata berkaitan dengan struktur interal daun dan kerapatan vertikal vegetasi.  Foto udara inframerah juga terbukti efektif pembedaan objek air dan bukan air, sehingga pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh teknologi ini.

Penerapan Teknologi dari Pemerintah ke Swasta
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996).  Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird  dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerintah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.

Perkembangan Teknik Analisa
Dari Manual ke Digital
Teknologi SIG telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara lain oleh Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990).  Kemudian pada dekade 1970-an beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah memulai untuk menerapkan SIG dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan wilayah.  Pada sekitar tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan paket perangkat lunak SIG yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi pasar komersia (Rhind et al., 2004).  Setelah itu, ratusan macam paket perangkat lunak SIG, yang sebagian besar di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar dunia.  Kebutuhan akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus dilengkapi dengan fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam analisis data spasial.  Sistem pengolah citra satelit dapat memberikan masukan pada SIG berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi dari citra digital satelit.  Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari SIG mampu mempertajam kemampuan analisis penglohan citra, terutama dalam hal pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi multispektral (Jensen, 2005).   
Banyak perusahaan telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin besar.  Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan PC dan laptop.
Dari Multi Spektral ke Hyper Spektral
             Pada awalnya kamera yang dipasang pada pesawat udara untuk kebutuhan pengintaian dalam aplikasi miltiter hanya menghasilkan foto berwarna hitam putih. Kehadiran film berwarna pun secara cepat berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam penginderaan jauh berbasis foto udara.  Ketersediaan film inframerah kemudian mendorong perkembang-an kamera multisaluran (multiband), yang pada umumnya memuat empat lensa dalam satu badan kamera, dengan kepekaan yang berbeda-beda untuk wilayah spektral berikut: biru, hijau, merah dan inframerah dekat.  Tahap ini menandai perkembangan sistem pemotretan dari yang bersifat unispektral (saluran tunggal) dan berjulat spektral lebar misalnya dari biru hingga merah ke  sistem pemotretan multispektral.  Analisis visual foto udara pankromatik, baik hitam-putih maupun berwarna pun kemudian bergeser ke analisis multispektral sederhana, dengan memanfaatkan alat pemadu warna elektrik seperti additive colour viewer (ACV). 
        ACV merupakan suatu antarmuka (interface) yang dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film multispektral dengan penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk masing-masing saluran. Dengan tersedianya sistem perekam citra digital, maka citra multispektral pun diolah dengan komputer. Analisis multispektral dapat dilakukan secara lebih teliti dengan membaca nilai-nilai piksel pada berbagai saluran spektral secara serentak, untuk diperbandingkan, dikombinasi melalui transformasi, maupun diekstrak melalui berbagai analisis statistik multivariat yang rumit, di mana setiap saluran berfungsi sebagai satu variabel informasi spektral.  Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini ditulis, telah berkembang banyak metode analisis multispektral, yang dapat dibaca di Adams dan Gilespie (2006), Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
          Dengan demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke klasifikasi multisumber.  Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan penginderaan jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis oleh Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro (1993). 
           Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran dan lebar setiap saluran.  Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer.  Analisis citra semacam ini, yang disebut dengan spectral cube (kubus spektral) berkembangan dengan pendekatan yang berbeda, mengingat bahwa metode-metode analisis multispektral tidak akan efisien dari sisi waktu pemrosesan dan akurasi hasilnya.  Tulisan-tulisan van der Meer dan de Jong (2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk keperluan ini.
Dari Per-Pixel ke Per-Objek
Pada tahun 1980-an, citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara.  Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata.  Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView.  Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi multispektral terhadap citra semacam itu.  Pada klasifikasi multispektral citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006).


Perkembangan Inderaja di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan foto udara untuk survei pemetaan sumberdaya telah dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an.  Pada periode yang sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite - 1), yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1.  Satelit ini mampu merekam hampir seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan dengan resolusi spasial sekitar 80 meter.  Sepuluh tahun kemudian, Amerika Serikat telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter pada satu saluran spektral pancaran termal.  Pada tahun yang hampir bersamaan itu pula, beberapa lembaga  di Indonesia baru mulai memasang sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara yang termasuk  awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra digital.  Meskipun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
  Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah.  Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional).  Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas).         



DAFTAR PUSTAKA

Howard, John A. 1990. Remote Sensing Of  Forest Resources-Theory and Aplication Melbourne : Chapman and Hall.
Indarto, 2014. Teori dan Praktek Penginderaan Jauh. Andi Publisher
Jensen, John R. 1986. Introductory Digital Image Processing – a Remote Sensing Perspektive. London : Prentice Hall
Utoyo, Bambang. 2009. Geografi 3 Membuka Cakrawala Dunia : untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta. PT. Setia Purna Inves