Jumat, 07 Oktober 2016


Perkembangan Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh merupakan teknologi untuk mengukur atau mendapatkan informasi tentang suatu objek/fitur/benda di permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan objek ukur. Pada awal perkembangannya, penginderaan jauh hanya berfungsi sebagai teknik atau cara untuk mendapatkan data dari permukaan bumi yang dilakukan tanpa harus kontak dengan permukaan bumi. Dalam perkembangan selanjutnya, penginderaan jauh sering diposisikan sebagai suatu ilmu.Jadi, peinderaan jarak jauh merupakan ilmu dan seni untuk menindera / menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekam dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat sensor dan wahana. Kemudian alat tersebut menghasilkan data yang harus dianalisis dengan cara interpretasi untuk dijadikan suatu informasi tentang permukaan bumi yang bermanfaat bagi bidang – bidang ilmu yang berkaitan.
Teknologi PJ sangat cepat berkembang dan teruji dengan sangat baik, baik dikalangan akademik, pemerintah, swassta, maupun stakeholder pada umumnya. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk mempelajari dan menyelesaikan berbagai permasalahan keseharian kita di berbagai bidang kehidupan.

Perkembangan Sisten dan Wahana
Dimulai dari teknik interpretasi foto udara, penginderaan jarak jauh mulai berkembang. Meskipun demikian, teknik interpretasi foto udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri baru berkembang pesat setelah Perang Dunia II karena sebelumnya foto udara lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan militer. Berdasarkan ketinggian peredarannya, posisi wahana dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut :
1.      1. Pesawat terbang rendah sampai medium (low to medium altitude aircraft) ketinggian antara       1.000–9.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkannya adalah citra foto (foto             udara).
  1. Pesawat terbang tinggi (high altitude aircraft) dengan ketinggian sekitar 18.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkannya adalah citra udara dan multispectral scanner data.
  2. Satelit dengan ketinggian antara 400–900 km dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkan adalah citra satelit.
Berbagai satelit sumberdaya telah diluncurkan oleh beberapa negara yang menawarkan kemampuan yang bervariasi mulai dari:
- ± 1 meter (IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika             Serikat)
- ± 10 meter (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang)
- ± 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA,  Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003)
- ± 50 meter (MOS milik Jepang)
- ± 250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang)
- ± 1,1 km (NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat)
            Negara – negara tersebut memanfaatkan citra satelit itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi bencana alam. Sensor-sensor satelit baru tidak hanya beroperasi pada wilayah multispektral.  Saluran pankromatik dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada saluran spektral lain pada sensor yang sama juga dioperasikan oleh berbagai sistem.  Sensor aktif seperti radar juga telah dioperasikan oleh berbagai satelit seperti JERS (Jepang), ERS dan Envisat (Uni Eropa), Radarsat (Kanada); sementara sistem sensor aktif berbasis teknologi laser (Lidar) terus dikembangkan untuk memperoleh informasi ketinggian permukaan kanopi pepohonan dan ketinggian permukaan tanahnya sekaligus.  Sistem satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor hiperspektral dengan ratusan saluran spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai objek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.

           
Perkembangan Aplikasi
Penginderaan jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer, karena gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada peta.  Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi dan  pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik tertentu.  Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar inframerah dekat juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan kamuflase objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya pepohonan. 
         Penggunaan teknologi foto inframerah akhirnya juga dimanfaatkan untuk aplikasi pertanian, khususnya dalam konteks perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan aktivitas fotosintesis, karena kepekaan pantulan sinar inframerah dekat ternyata berkaitan dengan struktur interal daun dan kerapatan vertikal vegetasi.  Foto udara inframerah juga terbukti efektif pembedaan objek air dan bukan air, sehingga pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh teknologi ini.

Penerapan Teknologi dari Pemerintah ke Swasta
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996).  Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird  dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerintah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.

Perkembangan Teknik Analisa
Dari Manual ke Digital
Teknologi SIG telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara lain oleh Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990).  Kemudian pada dekade 1970-an beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah memulai untuk menerapkan SIG dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan wilayah.  Pada sekitar tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan paket perangkat lunak SIG yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi pasar komersia (Rhind et al., 2004).  Setelah itu, ratusan macam paket perangkat lunak SIG, yang sebagian besar di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar dunia.  Kebutuhan akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus dilengkapi dengan fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam analisis data spasial.  Sistem pengolah citra satelit dapat memberikan masukan pada SIG berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi dari citra digital satelit.  Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari SIG mampu mempertajam kemampuan analisis penglohan citra, terutama dalam hal pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi multispektral (Jensen, 2005).   
Banyak perusahaan telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin besar.  Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan PC dan laptop.
Dari Multi Spektral ke Hyper Spektral
             Pada awalnya kamera yang dipasang pada pesawat udara untuk kebutuhan pengintaian dalam aplikasi miltiter hanya menghasilkan foto berwarna hitam putih. Kehadiran film berwarna pun secara cepat berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam penginderaan jauh berbasis foto udara.  Ketersediaan film inframerah kemudian mendorong perkembang-an kamera multisaluran (multiband), yang pada umumnya memuat empat lensa dalam satu badan kamera, dengan kepekaan yang berbeda-beda untuk wilayah spektral berikut: biru, hijau, merah dan inframerah dekat.  Tahap ini menandai perkembangan sistem pemotretan dari yang bersifat unispektral (saluran tunggal) dan berjulat spektral lebar misalnya dari biru hingga merah ke  sistem pemotretan multispektral.  Analisis visual foto udara pankromatik, baik hitam-putih maupun berwarna pun kemudian bergeser ke analisis multispektral sederhana, dengan memanfaatkan alat pemadu warna elektrik seperti additive colour viewer (ACV). 
        ACV merupakan suatu antarmuka (interface) yang dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film multispektral dengan penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk masing-masing saluran. Dengan tersedianya sistem perekam citra digital, maka citra multispektral pun diolah dengan komputer. Analisis multispektral dapat dilakukan secara lebih teliti dengan membaca nilai-nilai piksel pada berbagai saluran spektral secara serentak, untuk diperbandingkan, dikombinasi melalui transformasi, maupun diekstrak melalui berbagai analisis statistik multivariat yang rumit, di mana setiap saluran berfungsi sebagai satu variabel informasi spektral.  Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini ditulis, telah berkembang banyak metode analisis multispektral, yang dapat dibaca di Adams dan Gilespie (2006), Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
          Dengan demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke klasifikasi multisumber.  Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan penginderaan jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis oleh Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro (1993). 
           Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran dan lebar setiap saluran.  Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer.  Analisis citra semacam ini, yang disebut dengan spectral cube (kubus spektral) berkembangan dengan pendekatan yang berbeda, mengingat bahwa metode-metode analisis multispektral tidak akan efisien dari sisi waktu pemrosesan dan akurasi hasilnya.  Tulisan-tulisan van der Meer dan de Jong (2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk keperluan ini.
Dari Per-Pixel ke Per-Objek
Pada tahun 1980-an, citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara.  Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata.  Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView.  Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi multispektral terhadap citra semacam itu.  Pada klasifikasi multispektral citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006).


Perkembangan Inderaja di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan foto udara untuk survei pemetaan sumberdaya telah dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an.  Pada periode yang sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite - 1), yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1.  Satelit ini mampu merekam hampir seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan dengan resolusi spasial sekitar 80 meter.  Sepuluh tahun kemudian, Amerika Serikat telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter pada satu saluran spektral pancaran termal.  Pada tahun yang hampir bersamaan itu pula, beberapa lembaga  di Indonesia baru mulai memasang sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara yang termasuk  awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra digital.  Meskipun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
  Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah.  Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional).  Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas).         



DAFTAR PUSTAKA

Howard, John A. 1990. Remote Sensing Of  Forest Resources-Theory and Aplication Melbourne : Chapman and Hall.
Indarto, 2014. Teori dan Praktek Penginderaan Jauh. Andi Publisher
Jensen, John R. 1986. Introductory Digital Image Processing – a Remote Sensing Perspektive. London : Prentice Hall
Utoyo, Bambang. 2009. Geografi 3 Membuka Cakrawala Dunia : untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta. PT. Setia Purna Inves


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar