Perkembangan Penginderaan Jarak Jauh
Penginderaan
jarak jauh merupakan teknologi untuk mengukur atau mendapatkan informasi
tentang suatu objek/fitur/benda di permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan
objek ukur. Pada awal perkembangannya, penginderaan jauh hanya berfungsi
sebagai teknik atau cara untuk mendapatkan data dari permukaan bumi yang
dilakukan tanpa harus kontak dengan permukaan bumi. Dalam perkembangan
selanjutnya, penginderaan jauh sering diposisikan sebagai suatu ilmu.Jadi,
peinderaan jarak jauh merupakan ilmu dan seni untuk menindera / menganalisis
permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekam dilakukan di udara atau di
angkasa dengan menggunakan alat sensor dan wahana. Kemudian alat tersebut
menghasilkan data yang harus dianalisis dengan cara interpretasi untuk
dijadikan suatu informasi tentang permukaan bumi yang bermanfaat bagi bidang –
bidang ilmu yang berkaitan.
Teknologi PJ sangat cepat berkembang dan teruji dengan sangat baik, baik
dikalangan akademik, pemerintah, swassta, maupun stakeholder pada umumnya. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk
mempelajari dan menyelesaikan berbagai permasalahan keseharian kita di berbagai
bidang kehidupan.
Perkembangan Sisten dan Wahana
Dimulai dari
teknik interpretasi foto udara, penginderaan jarak jauh mulai berkembang. Meskipun demikian, teknik interpretasi
foto udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri baru berkembang pesat setelah
Perang Dunia II karena sebelumnya foto udara lebih banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan militer. Berdasarkan ketinggian peredarannya, posisi wahana dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut :
1. 1. Pesawat
terbang rendah sampai medium (low to medium altitude aircraft)
ketinggian antara 1.000–9.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang dihasilkannya
adalah citra foto (foto udara).
- Pesawat terbang tinggi (high altitude aircraft) dengan
ketinggian sekitar 18.000 meter dari permukaan bumi. Citra yang
dihasilkannya adalah citra udara dan multispectral scanner data.
- Satelit dengan ketinggian antara 400–900 km dari permukaan
bumi. Citra yang dihasilkan adalah citra satelit.
Berbagai satelit sumberdaya telah diluncurkan oleh beberapa
negara yang menawarkan kemampuan yang bervariasi mulai dari:
- ± 1 meter (IKONOS,
OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika Serikat)
- ± 10 meter (SPOT
milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang)
- ± 15-30 meter
(ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003)
- ± 50 meter (MOS
milik Jepang)
- ± 250 dan 500 meter (MODIS milik
Jepang)
- ± 1,1 km (NOAA-AVHRR
milik Amerika Serikat)
Negara –
negara tersebut memanfaatkan citra satelit itu untuk pembangunan, baik dalam
pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi bencana alam. Sensor-sensor satelit baru
tidak hanya beroperasi pada wilayah multispektral. Saluran pankromatik
dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada saluran spektral lain pada
sensor yang sama juga dioperasikan oleh berbagai sistem. Sensor aktif
seperti radar juga telah dioperasikan oleh berbagai satelit seperti JERS
(Jepang), ERS dan Envisat (Uni Eropa), Radarsat (Kanada); sementara sistem
sensor aktif berbasis teknologi laser (Lidar) terus dikembangkan untuk
memperoleh informasi ketinggian permukaan kanopi pepohonan dan ketinggian
permukaan tanahnya sekaligus. Sistem satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga
mengangkut sensor hiperspektral dengan ratusan saluran spektral untuk
memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai objek, termasuk komposisi
kimia mineral dan spesies organisme.
Perkembangan Aplikasi
Penginderaan jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan
aplikasi militer, karena gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal
mampu memberikan inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif
daripada peta. Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi
dan pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik
tertentu. Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar
inframerah dekat juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan
kamuflase objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya
pepohonan.
Penggunaan
teknologi foto inframerah akhirnya juga dimanfaatkan untuk aplikasi pertanian,
khususnya dalam konteks perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan aktivitas
fotosintesis, karena kepekaan pantulan sinar inframerah dekat ternyata
berkaitan dengan struktur interal daun dan kerapatan vertikal vegetasi.
Foto udara inframerah juga terbukti efektif pembedaan objek air dan bukan air,
sehingga pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh teknologi ini.
Penerapan Teknologi dari Pemerintah ke Swasta
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil
keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data
penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen,
1996). Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera
menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing
adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space
Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra
pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian
gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi
spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk
pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu
memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerintah Amerika
Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya
sampai dengan 50 cm.
Perkembangan Teknik Analisa
Dari Manual
ke Digital
Teknologi SIG telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara
lain oleh Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990). Kemudian pada dekade
1970-an beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah memulai untuk
menerapkan SIG dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan
wilayah. Pada sekitar tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan
paket perangkat lunak SIG yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi
pasar komersia (Rhind et al., 2004). Setelah itu, ratusan
macam paket perangkat lunak SIG, yang sebagian besar di antaranya dioperasikan
untuk PC, membanjiri pasar dunia. Kebutuhan akan fasilitas pengolahan
citra digital yang sekaligus dilengkapi dengan fasilitas SIG telah membuka
kemungkinan-kemungkinan baru dalam analisis data spasial. Sistem pengolah
citra satelit dapat memberikan masukan pada SIG berupa peta-peta tematik hasil
ekstraksi informasi dari citra digital satelit. Di sisi lain, fasilitas
analisis spasial dari SIG mampu mempertajam kemampuan analisis penglohan citra,
terutama dalam hal pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil
klasifikasi multispektral (Jensen, 2005).
Banyak perusahaan telah melakukan downsizing (beralih
dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer
mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi
ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin besar. Semakin banyak
paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan
PC dan laptop.
Dari Multi
Spektral ke Hyper Spektral
Pada awalnya
kamera yang dipasang pada pesawat udara untuk kebutuhan pengintaian dalam aplikasi
miltiter hanya menghasilkan foto berwarna hitam putih. Kehadiran film berwarna
pun secara cepat berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam
penginderaan jauh berbasis foto udara. Ketersediaan film inframerah
kemudian mendorong perkembang-an kamera multisaluran (multiband), yang pada umumnya
memuat empat lensa dalam satu badan kamera, dengan kepekaan yang berbeda-beda
untuk wilayah spektral berikut: biru, hijau, merah dan inframerah dekat.
Tahap ini menandai perkembangan sistem pemotretan dari yang bersifat
unispektral (saluran tunggal) dan berjulat spektral lebar misalnya dari biru
hingga merah ke sistem pemotretan multispektral. Analisis visual
foto udara pankromatik, baik hitam-putih maupun berwarna pun kemudian bergeser
ke analisis multispektral sederhana, dengan memanfaatkan alat pemadu warna
elektrik seperti additive colour viewer (ACV).
ACV merupakan
suatu antarmuka (interface) yang dapat digunakan untuk menampilkan
diapositif film multispektral dengan penyinaran warna primer (merah, hijau dan
biru) untuk masing-masing saluran. Dengan tersedianya sistem perekam citra
digital, maka citra multispektral pun diolah dengan komputer. Analisis
multispektral dapat dilakukan secara lebih teliti dengan membaca nilai-nilai
piksel pada berbagai saluran spektral secara serentak, untuk diperbandingkan,
dikombinasi melalui transformasi, maupun diekstrak melalui berbagai analisis
statistik multivariat yang rumit, di mana setiap saluran berfungsi sebagai satu
variabel informasi spektral. Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini
ditulis, telah berkembang banyak metode analisis multispektral, yang dapat
dibaca di Adams dan Gilespie (2006), Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
Dengan
demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung sekitar 25 tahun ini
kemudian semakin mengarah ke klasifikasi multisumber. Beberapa tulisan
awal yang mengintegrasikan penginderaan jauh (khususnya pengolahan citra)
dan SIG angara lain yang ditulis oleh Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan
dan Richards (1990), Danoedoro (1993).
Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran
dan lebar setiap saluran. Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena
di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan
dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer. Analisis citra
semacam ini, yang disebut dengan spectral cube (kubus
spektral) berkembangan dengan pendekatan yang berbeda, mengingat bahwa
metode-metode analisis multispektral tidak akan efisien dari sisi waktu
pemrosesan dan akurasi hasilnya. Tulisan-tulisan van der Meer dan de Jong
(2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk keperluan ini.
Dari
Per-Pixel ke Per-Objek
Pada tahun 1980-an, citra multispektral dengan kualitas detil
yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini tidak lepas dari
berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill
Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit
penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata. Pada tahun 1999
muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan
resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial
hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView. Saat ini,
satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial
sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan
citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm
atau lebih kasar.
Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak
diperlakukan seperti foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam
menerapkan klasifikasi multispektral terhadap citra semacam itu. Pada
klasifikasi multispektral citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian
dari objek penutup lahan yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga
hasil klasifikasi cenderung merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan
langsung dengan kategorisasi objek yang dikembangkan dalam klasifikasi
(Danoedoro, 2006).
Perkembangan Inderaja di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan foto udara untuk survei pemetaan sumberdaya
telah dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an. Pada periode
yang sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto
udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite - 1), yang kemudian
diberi nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu merekam hampir
seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan dengan
resolusi spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian, Amerika
Serikat telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang
merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic
Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi daripada
pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter
pada satu saluran spektral pancaran termal. Pada tahun yang hampir
bersamaan itu pula, beberapa lembaga di Indonesia baru mulai memasang
sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara
yang termasuk awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra
digital. Meskipun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara
berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat
bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi
penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi
semacam kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah
terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan
kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar
(lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas).
DAFTAR
PUSTAKA
Howard, John A. 1990. Remote Sensing
Of Forest Resources-Theory and Aplication Melbourne : Chapman and
Hall.
Indarto,
2014. Teori dan Praktek Penginderaan Jauh. Andi Publisher
Jensen, John R. 1986. Introductory Digital
Image Processing – a Remote Sensing Perspektive. London : Prentice Hall
Utoyo, Bambang. 2009. Geografi 3 Membuka Cakrawala Dunia : untuk Kelas XII Sekolah Menengah
Atas / Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta. PT. Setia
Purna Inves